Sepekan menjelang ujian nasional, selama tiga hari pintu kantor tata usaha di sekolah kami dibuka lebar-lebar. Sebabnya sederhana: agar bau busuk tikus yang mati bisa keluar, teterpa angin.
Sebenarnya, beberapa karyawan telah berusaha mencari sang tikus sebagai sumber bau. Bahkan, mereka sampai membongkar dan naik ke langit-langit, tetapi tak juga ketemu sumbernya. Hingga hari pelaksanaan UN, bau busuk itu tak juga hilang. UN pun akhirnya jalan melenggang.
Terlepas dari itu semua, semua ujian—termasuk UN—sesungguhnya hal baik dan perlu. Sistem pendidikan kita telah lama menggunakan ujian sebagai alat ukur keluaran hasil pendidikan sekolah. Penulis dan Mendikbud M Nuh, yang jarak tahun kelulusan SMA-nya tak terlalu jauh, juga dinyatakan lulus SMA melalui ujian akhir. Artinya, tidak ada masalah dengan ujian akhir sekolah sebagai penentu kelulusan sekalipun.
Pengakuan terselubung
Waktu berlalu, zaman berubah dan berkembang, ujian akhir sekolah terus berevolusi dan sampai pada bentuk akhir UN. Dalam perjalanannya UN menimbulkan masalah. Sebagian orang menggugat eksistensinya via pengadilan hingga ke Mahkamah Agung (MA).
Pengadilan tingkat pertama hingga MA pun mengabulkan sebagian permohonan penggugat. Sementara di sisi lain, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun terus melaksanakan UN, tetapi bukan sebagai penentu kelulusan secara mutlak.
Masyarakat menggugat UN karena UN telah memicu kecurangan masif dan sistematis. Kemdikbud tak pernah mengakui tudingan ini. Namun, dalam praktik tahun 2013 ini, Kemdikbud membuat soal sampai 20 tipe agar kecurangan dapat diminimalisasi.
Artinya, diam-diam Kemdikbud sebetulnya mengakui kecurangan benar-benar terjadi. Sebanyak 20 tipe soal yang harus dibuat dalam jumlah besar dan didistribusikan di wilayah seluas Indonesia tentu bukan perkara mudah, apalagi remeh. Terbukti, UN 2013 menghasilkan sensasi luar biasa yang mempermalukan bangsa secara keseluruhan.
Centang-perenang UN 2013 harus menjadi momentum untuk kembali meninjau ulang UN itu sendiri. UN harus dihentikan atau diakhiri. Bukan dimodifikasi, apalagi juga dijadikan sebagai penentu masuk perguruan tinggi negeri (PTN), karena yang terakhir ini menambah kuatnya pemicu kecurangan dalam UN.
Kemdikbud via Dirjen Dikti bisa membuat kategorisasi PTN dan jalur masuknya seperti pada akhir 1970-an dan awal 1980-an: Proyek Perintis 1, 2, 3, dan 4. Keunggulan sistem ini adalah setiap siswa sejak awal harus segera memetakan kemampuannya, lalu memilih jalur mana yang akan diikuti. Tidak ada siswa ikut dua jalur, kecuali yang gagal di jalur 2, yakni tanpa tes. Juga tidak ada siswa yang masuk karena diskriminasi kemampuan ekonomi.
Harus diakhiri
UN harus diakhiri karena UN telah merusak mental siswa, guru, kepala sekolah, serta orang dari instansi terkait dalam bentuk rencana dan praktik kecurangan yang sistematis. Kehadiran orang PTN sebagai pihak luar tidak banyak membantu kondisi di lapangan.
Secara normatif jelas tidak ada satu pihak pun yang mau mengakui kecurangan ini. Bahkan, ada argumen konyol yang mengatakan, kecurangan tidak hanya terjadi sekarang, tetapi juga sejak dulu (zaman Mendikbud di SMA). Benar, dulu kecurangan memang ada, tetapi personal, tidak masif, dan sistematis.
Kecurangan UN lebih lanjut menyebabkan dusta dan kepurapuraan. Tentu bukan karakter ini yang mau dihasilkan dalam pendidikan karakter kita, di mana UN dan kecurangannya ibarat tikus mati dan bau busuk di awal tulisan ini. Bau busuknya menyebar ke mana-mana dan dirasakan semua orang meskipun tikusnya sendiri tak ditemukan.
Semoga Mendikbud, oleh sebagian orang dikenal sebagai spiritualis, mampu menangkap pesan spiritual dari tikus mati ini. Terlalu mahal taruhan bagi bangsa ini untuk mempertahankan UN yang jelas-jelas merusak mental secara masif. Hentikan UN dan ganti dengan yang lain, yang tidak menimbulkan kebusukan.
Agus Purwanto Fisikawan Teoretik ITS; Pernah Menjadi Kepala SMA di Surabaya
0 komentar