Ilustrasi. | KOMPAS.com/M.Latief
Ingatan saya melayang jauh saat saya menempuh pendidikan calon guru di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang sudah dibubarkan dan kuliah di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sekarang berubah menjadi universitas. Bersekolah di SPG memerlukan ketabahan hati yang luar biasa. Profesi guru yang saat itu masih dipandang rendah menjadikan kami, murid-murid SPG, menerima pelecehan. Jika berpapasan dengan anak SMA, mereka memberi salam, ”Selamat pagi Pak Guru!” dengan nada mengejek. Kami mendapat sebutan sebagai Oemar Bakri, sosok guru yang digambarkan dalam lagu oleh Iwan Fals.
Anak laki-laki susah mendapatkan pacar karena tidak ada yang sudi berpacaran dengan calon guru. Namun, kami menjalani dengan tabah dan senang hati sebab profesi guru profesi luhur.
Di IKIP juga demikian. Mahasiswa IKIP ibarat golongan mahasiswa kelas III setelah mahasiswa universitas umum dan universitas swasta favorit. Kami menutupi identitas sebagai mahasiswa IKIP. Di tempat kuliah kerja nyata, mahasiswa IKIP tidak menerima sambutan yang layak dari pejabat pemerintah. Berbeda dengan mahasiswa dari universitas umum yang berasal dari kalangan kaya. Gelar Doktorandus (Drs) diplesetkan menjadi Doktorambles. Yang sekolah di SPG umumnya anak-anak keluarga miskin.
Masuk IKIP atau Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) umumnya pilihan kedua atau ketiga daripada tidak kuliah. Tamat dari SPG atau IKIP jarang ada yang membaktikan ilmunya sebagai guru. Mereka memilih pekerjaan lain selain guru sebab lebih menjanjikan dari segi ekonomi.
Tamat dari SPG/IKIP, saya menggigit perasaan sendiri. Gaji yang saya terima sangat jauh dari gaji buruh pabrik. Untuk menutupi kekurangan, saya terpaksa menerima mengajar les privat. Berangkat kerja jalan kaki. Agar tidak berkeringat saat sampai sekolah, kami memakai kaus oblong. Seragam guru model baju safari menjadi bahan candaan atau olok-olok para pelawak.
Dalam film sosok guru digambarkan sebagai sosok bijak bestari, tetapi juga konyol dan sasaran jahil anak-anak orang kaya. Saudagar yang kaya raya mengancam anak gadisnya yang tidak menurut orangtua untuk menikah dengan sesama anak saudagar akan dinikahkan dengan guru. Penggambaran yang sangat stereotip nestapa itulah yang menyebabkan siapa pun tidak akan memilih profesi guru.
Era baru guru
Kini keadaan sudah berubah. Profesi guru menjadi rebutan. FKIP menjadi rebutan calon mahasiswa. Untuk program S-1 PGSD/PAUD, rasio mahasiswa yang diterima dengan jumlah pendaftar mencapai 1:140. Mahasiswa FKIP berani berjalan tegak. Kegiatan kampus yang diprakarsai mahasiswa FKIP berjalan penuh gairah. Mereka berani menunjukkan jati diri sebagai calon guru pendidik tunas-tunas muda. Bahkan, mahasiswa S-1 PGSD/PAUD berani tampil beda dengan seragam kuliah baju putih celana hitam dengan sepatu pantofel hitam. Saya trenyuh dan bangga melihat mereka. Saya yakin dunia pendidikan akan lebih baik lagi sebab dijalankan oleh mereka yang benar-benar memilih profesi guru sejak dini.
Mengapa? Sebab profesi ini menjanjikan secara ekonomi. Pemberian tunjangan profesi bagi guru yang sudah bersertifikasi menyebabkan banyak guru mampu membeli mobil, memiliki rumah layak, menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi, dan berkiprah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Guru jadi profesi idaman. Anak FKIP unjuk gigi dengan membuat kaus atau jaket yang menandakan bahwa mereka calon guru.
Saat tahu MK menolak gugatan, hati saya marah sebab siapa pun kini bisa jadi guru asalkan dia berpendidikan sarjana atau diploma empat dari jurusan apa pun, fakultas apa pun. Saya bergumam, guru sudah jadi profesi sampah.
Mereka yang tak memperoleh pekerjaan sesuai bidang pendidikannya menyerbu profesi ini dan menggusur para sarjana pendidikan yang sedari awal sudah mewakafkan diri sebagai guru. Di beberapa sekolah, latar belakang pendidikan tenaga pendidik kini berbagai macam. Ada yang SE, SH, ST, SP. Mereka jadi guru karena kepepet tidak diterima bekerja sesuai dengan bidang yang ditempuh saat kuliah.
Memang Pasal 9 UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen tak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, andaikata hakim MK menanyakan kepada sarjana non-kependidikan mengapa mereka bekerja sebagai guru yang semestinya dikhususkan kepada sarjana pendidikan, jawabannya kemungkinan adalah kepepet, ketimbang demi kemajuan dunia pendidikan itu sendiri. Akibat kondisi ini, lulusan FKIP akan terdesak dan dirugikan. Mereka kuliah di FKIP/LPTK karena niat sejak awal ingin menjadi guru, bekerja sesuai bidang keilmuannya.
Saya ingin menggugat, bolehkah profesi khusus seperti dokter, pengacara, hakim, dan notaris diisi lulusan pendidikan tinggi apa pun? Jika boleh, maka saya orang pertama yang akan menjadi hakim supaya wajah hukum negeri ini tidak buram. Saya akan menjadi pengacara agar bisa memberikan bantuan hukum gratis di pengadilan. Pasti saya akan diprotes lulusan Fakultas Hukum sebab ladang pekerjaannya saya rebut.
Profesi guru itu juga profesi khusus sehingga pendidikan yang diperolehnya pun berisi materi pembelajaran yang khusus pula. Saat saya sekolah di SPG, pelajaran yang saya terima berbeda jauh dengan pelajaran anak SMA. Ada pelajaran Psikologi Pendidikan, Psikologi Anak, Ilmu Pendidikan, Materi dan Metode Penilaian untuk semua pelajaran umum di SD, Simulasi Mengajar, Kurikulum, dan lain-lain sehingga saat tamat SPG dan mengajar saya tak mengalami kendala dalam mengajar dan menghadapi anak didik.
Banyak ilmu yang diberikan saat kuliah di FKIP dan digunakan sebagai bekal untuk mendidik anak yang berasal dari berbagai latar belakang sosial ekonomi.
Palu hakim MK memang sudah diketuk dan bersifat final. Namun, sebagai sumbang saran, sudah sewajarnya sekolah-sekolah tetap menyeleksi calon guru yang akan mengajar sehingga seyogianya guru memiliki latar belakang pendidikan guru.
Rumongso Pendidik Tinggal di Sala, Jawa Tengah
Sumber : Kompas Cetak
Editor : Caroline Damanik
0 komentar