Selasa, 01 Oktober 2013

Guru PNS Terpinggirkan

Pengertian guru menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang pekerjaanya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Pengertian jabatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pekerjaan (tugas) di pemerintahan atau organisasi. Sedangkan professional menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.
Dalam Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen jelas disebutkan pasal I Bab I yang merujuk pada kata “Profesional” diartikan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Bisa diartikan profesi Guru hanya bisa diemban oleh-oleh orang-orang yang profesional pada bidangnya, kata profesional seakan mengartikan ibarat ahli yang biasanya kalimat itu acap kali menjadi pertentangan dengan kata amatiran.
Sementara pada jabatan Guru masuk pada jajaran PNS Fungsional
yaitu jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya sangat diperlukan dalam pelaksansaan tugas-tugas pokok organisasi, misalnya: auditor (Jabatan Fungsional Auditor atau JFA), guru, dosen, dokter, perawat, bidan, apoteker, peneliti, perencana, pranata komputer, statistisi, pranata laboratorium pendidikan, dan penguji kendaraan bermotor.

Begitu wah…profesi seorang guru, walau nyatanya Oemar bakrie ini, selalu terkesan jadi kasta yang terendah dalam jabatan Pegawai Negeri Sipil.
Memang tidak semua orang yang beranggapan begitu, namun dari kacamata sekarang ini Para Oemar Bakrie di dunia pendidikan Indonesia harus diakui kualitas SDM nya dianggap paling rendah.
Saat ini tercatat total guru di Indonesia sebanyak 2,7 juta. Dari jumlah tersebut, 1,5 juta atau 57,4% diantaranya belum berkualifikasi sarjana atau diploma empat (S1/D4). Belum lagi kompetensi, kualitas dan kualifikasi guru itu sangatlah beragam. Sumber : Analisa Ditpropen, Ditjen PMPTK 2009,
Para pendidik ini di era 80 an hingga 90 an, memiliki gajih kecil dan jarang diperhatikan oleh pemerintah hingga munculnya kebijakan sertifikasi bagi Guru yang memenuhi kualifikasi, para guru sedikit bernapas lebih lega.
Bayangkan saja berbagai aneka tunjangan daerah para Guru selalu kebagian lebih sedikit di banding pejabat-pejabat struktural atau fungsional lainnya. karena jelas para guru ini bukan peran yang punya kuasa untuk mengutak-atik anggaran daerah, mereka ada pada garda terdepan untuk mencerdaskan anak bangsa yang produknya menjadi pejabat-pejabat negara yang baik, namun sangat disayangkan perana guru hanyalah sebatas mendidik mereka.
mereka-mereka ini lahir dan besar di dunia pendidikan hingga menjadi pejabat negara hasilnya mereka ini punya kuasa punya wewenang namun lupa mereka jadi orang besar karena siapa saja dan bagaimana peran-peran yang membantu mereka.

Adalah hal logis jikalau semua pemangku kebijakan ini tidak peduli dengan guru, masih ada yang peduli namun jelasnya masih banyak yang menganggap para Guru adalah jabatan yg ada dibawah mereka.
Sebut saja tadi pada aneka tunjangan, sudah cukup impas kalau kita lihat pada sertifikasi Guru, hal ini tidaklah stagnan dsitu saja sekarang guru-guru yg bersertifikasi ini kembali harus ditekan kinerja dan data-datanya dengan berbagai cara, hal itu memang penting namun ada yang nampak mengganjal jikalau makin tahun, makin ditekan saja cara mendapatkan sertifikasi tersebut.yang hasilnya para Guru tak lagi sibuk mengajar namun sibuk pada urusan birokrasi bagaimana cara mendapatkan sertifikasinya. sebagai lampu kristal pada kehidupan mereka.

Belum lagi pada urusan Pelayanan bagi Guru, Tenaga kependidikan  bernaung pada Dinas Pendidikan dan UPTD yang melayani mereka dalam urusan data dan birokrasi juga tak kalah ribetnya, menuntut hal yang bermacam-macam yang kadang sengaja dibikin ribet pada era yang “serba uang” ini.
Pada konsep pelayanan bagi guru kok masih saja ada oknum-oknum yang merasa jadi raja bukan membina malah memerintah sesuka hati karena mereka yg menganggap paling hebat daripada Guru, yang kadang kalimat-kalimat oknum tersebut persis seperti polisi tanyakan kepada “Maling” atau para penjahat.

Pikiran sang guru kembali kacau, belum lagi jarak yang mereka tempuh untuk ke kantor dinas pendidikan bahkan mereka harus keluar dengan meninggalkan anak didik, besok pun kembali harus pergi lagi dan berharap sekolah dan anak didik bisa mengerti kesibukkan pribadinya dan berharap tidak ada kesalahn pada data, dan berharap semoga sang pengadil (oknum2 tenaga pendidik) bicaranya lebih ramah walau nyatanya kebanyakan dikasih uang dulu baru bisa ramah dan urusan menjadi lancar.
Guru malang nian nasibmu, hingga untuk mengakui bahwa dia menjadi guru saja banyak yang agak malu saat ditanyakan apa pekerjaannya, jarang ada yg berbangga hati “Aku adalah Guru, atau seperti saya “saya seorang Guru SD”(ciehh) ini bagai sebuah gengsi tersendiri..yang konon jawabnya kebanyakan “Ah Cuma Guru, Guru SD lagi, Apa sih hebatnya”.


Namun itulah kenyataan yang sudah dialami banyak oleh para PNS dari kaum Oemar Bakrie.
terkesan dipinggirkan yang sudah beberapa orang alami.
Penulis sendiri pernah mengalami hal tersebut namun demikian kewajiban kita untuk tetap berbangga hati, bahwa pekerjaan kita adalah pekerjaan mulia, ikhlaskan diri untuk negeri tercinta, rintangan dan halangan pastilah selalu ada karena jalan tak selamanya mulus namun yang pasti kesabaran dan keikhlasan diri terus kita tanamkan untuk mencerdaskan anak Bangsa.

akhir kata penulis banyak-banyak meminta maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan, kita selalu sadari bahwa oknum-oknum tertentulah yang menjadi pelakunya, Juga Oknum-oknum pendidik tidaklah sempurna. namun ijinkan saya sedikit share dan berbagi cerita kenyataan yang ada.
Load disqus comments

0 komentar